Pagi ini saya tersenyum-senyum membaca beberapa status, artikel, blog, ataupun wallpost facebook milik perempuan-perempuan muda berdarah juang tinggi yang bertemakan 'feminisme' atau 'kesetaraan gender' atau apapun yang merujuk pada posisi perempuan di kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Beberapa perempuan masih giat untuk meninju kepalkan tangan ke udara sembari meneriakkan kata 'emansipasi'. Beberapa seperti sudah agak bosan dan memilih diam. Beberapa yang lain lagi berbalik mengambil sikap anti terhadap 'emansipasi' karena dirasa emansipasi sudah basi. Entah basi di bagian mananya.
Saya sendiri entah berada di rombongan yang mana, karena menurut saya isu feminisme dan emansipasi ini sudah lama terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan yang lahir dari budaya patriarki yang biar bagaimanapun masih menancap kuat pada tanah pikir bangsa kita tercinta ini. Isu feminisme dan emansipasi yang tadinya menjadi isu 'sakral' bagi para perempuan, khususnya para perempuan penggerak dan pekerja, kini seperti menjadi isu yang sudah diobral, didiskon 70+25(%) seperti baju-baju di department store yang tidak laku jual di musim lalu.
Entah apa yang membuat para perempuan yang saya ceritakan di atas akhirnya memilih jalan pro, apatis, maupun kontra terhadap isu feminisme dan emansipasi, dan lalu membuat garis-garis perjuangan baru yang justru memecah belah kekuatan yang semestinya bisa dihimpun dengan baik oleh seluruh perempuan Indonesia.
Tapi yang jelas, ada satu hal yang membuat saya jengah ketika beberapa perempuan (saya tidak lagi berbicara tentang golongan pro, apatis, atau kontra) yang memahami konsep feminisme sebatas perkara 'posisi perempuan dan laki-laki', yang jika dibahas terus menerus akhirnya hanya terbatas pada hubungan antarpersonal antara perempuan dan laki-laki saja. Yah, bahasa simpelnya, pemikiran feminisme yang terbatas pada hubungan antarlawanjenis yang bertendensi asmara dan atau urusan rumahtangga saja.
Bagi saya angatlah lucu ketika berbicara tentang permasalahan feminisme namun masih menggunakan sudut pandang 'aku'.
" Saya berpandangan feminis karena tidak puas pada apa yang terjadi di masa lalu saya."
atau
" Saya rasa wacana feminisme dan kesetaraan gender tidak perlu lagi dibahas. Buktinya kehidupan rumahtangga saya baik-baik saja selama duapuluhtahun menikah. Perekonomian saya baik, suami saya baik. Tidak ada masalah dengan hubungan perempuan dan laki-laki."
Khusus untuk contoh kedua, hal itu adalah kisah nyata yang pernah saya alami sendiri ketika berdiskusi pada sebuah forum sastra dan bedah karya seorang penulis perempuan yang juga seorang feminis.
Seorang Ibu mengungkapkan opini tersebut ke dalam forum.
Bahwasanya feminisme dan kesetaraan gender adalah tidak perlu, didasarkan oleh pandangan subjektifnya dan pengalaman pribadinya saja.
Kalau begitu cara kita memahami gerakan feminisme, lantas apakabar perempuan-perempuan di kolong jembatan yang terhimpit secara sosial dan ekonomi? Apakabar pula para buruh tani yang upahnya tak lebih dari limabelas ribu rupiah perhari?
Sekali lagi, alangkah kurang bijaknya ketika kita menyoroti isu feminisme dan kesetaraan gender hanya dari sudut pandang subjektif personal.
Saya sendiri berpandangan bahwa pergerakan feminisme dan kesetaraan gender adalah bagian dari permasalahan sosial yang maha luas yang dilahirkan secara khusus untuk menangani permasalahan perempuan di lingkup sosial kemasyarakatan.
Sebagai tambahan saja, feminisme-pun bermacam-macam bentuk dan pergerakannya. Ada feminisme liberal, radikal, postmodern, anarkis, Marxis, sosialis, dan lain-lain. Mereka semua ada bukan semata untuk memenuhi kebutuhan atas pembenaran subjektif dari individu. Mereka ada justru sebagai salah satu solusi untuk mengentas kondisi perempuan-perempuan yang hingga kini nasibnya masih belum beruntung dalam banyak hal.
Lalu mengapa mesti feminisme, yang berarti adalah gerakan dari oleh dan untuk perempuan?
Ya, karena ketika kita mencoba mengentas permasalahan perempuan dari sudut pandang perempuan, tentunya pengambilan keputusan akan lebih bijak dan berpihak pada perempuan pula dibanding dengan ketika pengambil keputusannya adalah laki-laki yang tentunya juga akan lebih mengedepankan ego mereka sebagai laki-laki.
Penis Envy, Vagina Envy.
Kecemburuan dan rasa saling bersaing antara laki-laki dan perempuan adalah natural dan tidak akan pernah bisa hilang selama Tuhan masih menciptakan kedua jenis makhluk tersebut di muka bumi.
Perlu digaris bawahi sekali lagi, yang saya maksud dengan permasalahan perempuan di sini, tidak melulu perkara posisi perempuan dan laki-laki dalam hubungan antarpersonal rumahtangga maupun pranikah.
Lebih daripada itu, feminisme menyangkut nasib perempuan-perempuan yang masih belum mendapatkan kemerdekaan dan hak individunya untuk dapat hidup layak secara sosial, ekonomi, budaya, agama, dan dalam seluruh aspek dalam kehidupan.
Menjadi seorang feminispun, tidak mesti berjenis kelamin perempuan. Dewasa ini sebenarnya semakin banyak dibutuhkan laki-laki berpandangan feminis, karena saya sebagai perempuan menyadari pula bahwa betapa pentingnya seorang laki-laki memiliki keberpihakan kepada nasib perempuan.
Dan di atas segalanya, sayapun percaya bahwa kita diciptakan oleh Tuhan secara seimbang, baik laki-laki maupun perempuan.
Jadi silahkan saja untuk pro maupun kontra terhadap wacana feminisme, asalkan tidak di dasarkan dari alasan subjektif sempit yang akan mengontaminasi makna feminisme itu sendiri.
Saya sendiri adalah orang yang tidak tahu apakah saya seorang feminis atau bukan.
Saya hanya berharap semoga kedua tangan, segenggam hati, dan sebongkah otak ini dapat berguna bagi kehidupan di sekitar saya, terlebih bagi nasib mereka yang tidak seberuntung kehidupan yang saya miliki hingga duapuluh dua tahun terakhir ini.
Saya hanya berharap semoga kedua tangan, segenggam hati, dan sebongkah otak ini dapat berguna bagi kehidupan di sekitar saya, terlebih bagi nasib mereka yang tidak seberuntung kehidupan yang saya miliki hingga duapuluh dua tahun terakhir ini.
[ stvt. 22. 10. 10 ]