Rabu, 20 Oktober 2010

nasihat seorang pelacur kepada kekasihnya

: Dona

lesap pandangku pada katakatamu yang menumpah ruahkan puisipuisi, sajaksajak, yang kau simpan saja pada tumpukan terbawah lemari di kamarkerjamu selama duaaratussembilanbelas hari terakhir.
manis wajahmu menjelma lain dan sangat lain entah apa itu namanya, yang jelas terasa sesak, seakan jutaan molotov siap diledakkan dari sana.

oh, bukan aku tak pernah ingin tau perihal apa yang mungkin dirasa oleh seorang pria kepada wanita yang selama duaratussembilanbelas hari terakhir selalu menemaninya mencandai cecamar senja di antara hamparan kelopak bunga, mencabuti ilalang untuk sekedar saling meniupkan gemerlap helai-helainya yang menempeli kelopak mata, menempeli hidung, menempeli pipi, menempeli bibir...yang baru saja dikecup oleh suatu kekuatan bernama tindihan sejuta rasa yang kelamaan disimpan dan berjejalan dengan harihari, mimpimimpi, lukaluka...

jangan kau pikir aku tidak mengerti. aku tidaklah terlalu bodoh maupun terlampau pintar dalam hal merasai. kuakui, bahwa yang namanya hati memang sengaja tak kubagi. mungkin cukup dengan kupinjami. aku pelit? biar! aku hanya ingin hatiku utuh saat kelak tiba saatnya aku diperintahkan untuk benar benar sendiri menghadap Illahi.

sudah pernah kukatakan padamu, jangan engkau lena dalam rasa padaku, karena suatu saat aku pasti pergi. aku hanyalah serba serbi dalam lintas kehidupanmu. aku ini hanya iklan, bukan drama berseri di televisi yang biasa disimak ibu ibu dalam rangka menghabiskan hari.

kau memintaku datang, maka aku datang.
kau menyudahi hari, maka aku pergi.

sudah berkali kali kubilang padamu, bahwa hidupku adalah sesederhana itu.
sedangkan engkau? engkau dihidupkan untuk sebuah kompleksitas warnawarni dari komposisi yang telah di ejawantahkan nenek moyang: sekolah, bekerja, kawin, beristri, beranak, bercucu, menua, mati...

dan aku?
aku ini imaji! adaku bisa kau hidup matikan sesuai keinginanmu. aku ini virtual! meski pinggulku dapat kau gamit, meski ubun-ubunku bisa kau kecup. aku ini abadi! hidupku adalah aku, tak terbeli oleh impian romantik tentang kisah cinta perempuan dan laki-laki.

aku: nyata dalam ketidaknyataan, juga tidak nyata dalam kenyataan.

sekarang kutanya; memang engkau berencana apa terhadap kita?

menceraikan istrimu, membawa serta anakmu, lalu meminangku, memperkenalkanku kepada orangtuamu, dan berkata bahwa engkau memungutku di tepi jalan, lalu kita berdua saling jatuh cinta dan merasa tak dapat lagi terpisah, begitu?

jangan ngawur, sayang!

meski istrimu adalah pilihan orangtuamu, meski semua yang engkau jalani adalah sebuah komposisi dari ejawantah nenek moyangmu, bukan begini caranya engkau berontak.

atau mungkin kau iri pada hidupku yang jauh dari airmata, jauh dari sakit hati, jauh dari ketakutan akan kehilangan... begitukah?

jika memang benar kau iri, maka jadilah saja pelacur seperti aku!
yang punya tombol on dan off pada jiwa dan hatinya.
yang tau dimana memulai dan dimana mengakhiri...

tapi setelahnya juga jangan berharap kita akan kawin, lantas beranak pinak dan tinggal di lereng bukit yang berbunga, lalu engkau bekerja memerah sapi dan aku merawat anak-anakmu dirumah sembari mengolah susu menjadi keju seperti iklan di televisi...

tidak akan sayang.
sudah kubilang kan, aku ini abadi...hidupku adalah Aku, tak terbeli oleh impian romantik tentang kisah cinta perempuan dan laki-laki. harap kau mengerti, karena dari awal juga kita telah sadari.

jadi, lanjutkan saja ruahan sajaksajakmu, puisipuisimu, hingga berakhir detik di hari ini.
jika engkau mau, berikan aku kecupan dan sebuket mawar jingga.
ya, begitu... lalu pulanglah engkau kerumahmu.

ingatlah, anak-anakmu sedang menanti bingkisan yang baru saja kita bungkus bersama sebagai hadiah naik kelas mereka...







[ satyavati. 07.07.10 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar