Rabu, 20 Oktober 2010

Ombak

: Sajak Durga kepada Syiwa


Kaupun tentu dapat menyentuh rasa yang menggelenyar pada sesenti jarak diantara lembap kulit-kulit kita yang sedang menahan aksara dari bahasanya sendiri.
Jarak yang menyerupa ruang diantara dua magnet yang semestinya saling tarik menarik.
Yang membuat utara lengket mencumbu selatan.
Yang membuat positif seakan tergila pada negatif.
Yang akan mencipta panas sekaligus gigil yang meruntuhkan.
Namun mengapakah kita hanya bertatapan di seberang pintu kamar yang tak dikunci?
Sementara nurani dan gelora mesra berdiskusi, diramaikan oleh setan dan malaikat yang sedang getol menunaikan tugasnya sendiri-sendiri.

Waktu seperti membeku.
Dan panas dari masing-masing tubuh kita seakan melelehkannya menjadi bulir yang menetes satu-satu.
Tentu kaupun bisa dengar tetesannya yang menggenangi ruang diantara jantung dan hati kita yang lama hampa.
Disana ada getar. Disana ada remang misteri yang membuat engkau berjingkat geli.

Kukecap sisa rasa vodka yang menempel di lidahku. Membayangkan lidahmu. Membayangkan bibirmu yang rasa kopi. Membayangkan keringat di lehermu yang bau bedak bayi.

Engkau yang selalu indah pada heningmu

Laksana mercusuar dari bangunan andesit dingin yang berdiri tegak anggun menantang matahari.Dan aku adalah si muda berdarah samudera bersama liar ombaknya yang ingin menjilati bangunan tubuhmu, juga hatimu.

Aku ingin mencumbumu.
Seperti ombak yang liar menjilati mercusuar di tengah laut biru.
Dan diantara jingga cahaya di dunia 4x6 meter tempat kita duduk bersisian ini, kulihat sorot mata mercusuarmu-pun bercahaya ungu, tak lagi merah seperti malam-malam lalu.
Biru apa gerangan yang telah bereaksi dengan warna merah sorot mercusuarmu?

Sungguh, saat ini aku ingin mencumbumu.
Meruntuhkan bangunan mercusuarmu lebur bersama ganas ombakku.
Lebur hingga ke dasar lautku yang paling dalam.
Kau mungkin tak akan pernah membayangkan bahwa di dalamnya ada gua hangat yang nyaman untuk kau tinggali.
Ada pula pusaran warna-warni pelangi yang tak pernah kau lihat di atas bumi.
Aku ingin kau jelajahi, setelah habis kujilati tegak tubuh mercusuarmu.

Mari sejenak melupakan elegi.
Mari sejenak melepaskan diri, merentang tangan untuk lepas menari-nari.
Menjadi sepasang kuda tak berpelana yang berlarian bebas di tengah savannah.
Menjadi elang yang merdeka merentang sayap hingga ke tepi cakrawala.
Menjadi hujan yang rekat mencumbu tanah halaman depan rumah

Menjadi aku dan engkau di dasar laut tak berpenghuni.

Mari!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar