Rabu, 20 Oktober 2010

Feminisme: Pro, Kontra, dan Tidak Tahu

Pagi ini saya tersenyum-senyum membaca beberapa status, artikel, blog, ataupun wallpost facebook milik perempuan-perempuan muda berdarah juang tinggi yang bertemakan 'feminisme' atau 'kesetaraan gender' atau apapun yang merujuk pada posisi perempuan di kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Beberapa perempuan masih giat untuk meninju kepalkan tangan ke udara sembari meneriakkan kata 'emansipasi'. Beberapa seperti sudah agak bosan dan memilih diam. Beberapa yang lain lagi berbalik mengambil sikap anti terhadap 'emansipasi' karena dirasa emansipasi sudah basi. Entah basi di bagian mananya.

Saya sendiri entah berada di rombongan yang mana, karena menurut saya isu feminisme dan emansipasi ini sudah lama terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan yang lahir dari budaya patriarki yang biar bagaimanapun masih menancap kuat pada tanah pikir bangsa kita tercinta ini. Isu feminisme dan emansipasi yang tadinya menjadi isu 'sakral' bagi para perempuan, khususnya para perempuan penggerak dan pekerja, kini seperti menjadi isu yang sudah diobral, didiskon 70+25(%) seperti baju-baju di department store yang tidak laku jual di musim lalu.

Entah apa yang membuat para perempuan yang saya ceritakan di atas akhirnya memilih jalan pro, apatis, maupun kontra terhadap isu feminisme dan emansipasi, dan lalu membuat garis-garis perjuangan baru yang justru memecah belah kekuatan yang semestinya bisa dihimpun dengan baik oleh seluruh perempuan Indonesia.

Tapi yang jelas, ada satu hal yang membuat saya jengah ketika beberapa perempuan (saya tidak lagi berbicara tentang golongan pro, apatis, atau kontra) yang memahami konsep feminisme sebatas perkara 'posisi perempuan dan laki-laki', yang jika dibahas terus menerus akhirnya hanya terbatas pada hubungan antarpersonal antara perempuan dan laki-laki saja. Yah, bahasa simpelnya, pemikiran feminisme yang terbatas pada hubungan antarlawanjenis yang bertendensi asmara dan atau urusan rumahtangga saja.

Bagi saya angatlah lucu ketika berbicara tentang permasalahan feminisme namun masih menggunakan sudut pandang 'aku'.
" Saya berpandangan feminis karena tidak puas pada apa yang terjadi di masa lalu saya."

atau

" Saya rasa wacana feminisme dan kesetaraan gender tidak perlu lagi dibahas. Buktinya kehidupan rumahtangga saya baik-baik saja selama duapuluhtahun menikah. Perekonomian saya baik, suami saya baik. Tidak ada masalah dengan hubungan perempuan dan laki-laki."

Khusus untuk contoh kedua, hal itu adalah kisah nyata yang pernah saya alami sendiri ketika berdiskusi pada sebuah forum sastra dan bedah karya seorang penulis perempuan yang juga seorang feminis.
Seorang Ibu mengungkapkan opini tersebut ke dalam forum.
Bahwasanya feminisme dan kesetaraan gender adalah tidak perlu, didasarkan oleh pandangan subjektifnya dan pengalaman pribadinya saja.

Kalau begitu cara kita memahami gerakan feminisme, lantas apakabar perempuan-perempuan di kolong jembatan yang terhimpit secara sosial dan ekonomi? Apakabar pula para buruh tani yang upahnya tak lebih dari limabelas ribu rupiah perhari?

Sekali lagi, alangkah kurang bijaknya ketika kita menyoroti isu feminisme dan kesetaraan gender hanya dari sudut pandang subjektif personal.

Saya sendiri berpandangan bahwa pergerakan feminisme dan kesetaraan gender adalah bagian dari permasalahan sosial yang maha luas yang dilahirkan secara khusus untuk menangani permasalahan perempuan di lingkup sosial kemasyarakatan.

Sebagai tambahan saja, feminisme-pun bermacam-macam bentuk dan pergerakannya. Ada feminisme liberal, radikal, postmodern, anarkis, Marxis, sosialis, dan lain-lain. Mereka semua ada bukan semata untuk memenuhi kebutuhan atas pembenaran subjektif dari individu. Mereka ada justru sebagai salah satu solusi untuk mengentas kondisi perempuan-perempuan yang hingga kini nasibnya masih belum beruntung dalam banyak hal.

Lalu mengapa mesti feminisme, yang berarti adalah gerakan dari oleh dan untuk perempuan?
Ya, karena ketika kita mencoba mengentas permasalahan perempuan dari sudut pandang perempuan, tentunya pengambilan keputusan akan lebih bijak dan berpihak pada perempuan pula dibanding dengan ketika pengambil keputusannya adalah laki-laki yang tentunya juga akan lebih mengedepankan ego mereka sebagai laki-laki.

Penis Envy, Vagina Envy.

Kecemburuan dan rasa saling bersaing antara laki-laki dan perempuan adalah natural dan tidak akan pernah bisa hilang selama Tuhan masih menciptakan kedua jenis makhluk tersebut di muka bumi.

Perlu digaris bawahi sekali lagi, yang saya maksud dengan permasalahan perempuan di sini, tidak melulu perkara posisi perempuan dan laki-laki dalam hubungan antarpersonal rumahtangga maupun pranikah.
Lebih daripada itu, feminisme menyangkut nasib perempuan-perempuan yang masih belum mendapatkan kemerdekaan dan  hak individunya untuk dapat hidup layak secara sosial, ekonomi, budaya, agama, dan dalam seluruh aspek dalam kehidupan.

Menjadi seorang feminispun, tidak mesti berjenis kelamin perempuan. Dewasa ini sebenarnya semakin banyak dibutuhkan laki-laki berpandangan feminis, karena saya sebagai perempuan menyadari pula bahwa betapa pentingnya seorang laki-laki memiliki keberpihakan kepada nasib perempuan.

Dan di atas segalanya, sayapun percaya bahwa kita diciptakan oleh Tuhan secara seimbang, baik laki-laki maupun perempuan.

Jadi silahkan saja untuk pro maupun kontra terhadap wacana feminisme, asalkan tidak di dasarkan dari alasan subjektif sempit yang akan mengontaminasi makna feminisme itu sendiri.

Saya sendiri adalah orang yang tidak tahu apakah saya seorang feminis atau bukan.
Saya hanya berharap semoga kedua tangan, segenggam hati, dan sebongkah otak ini dapat berguna bagi kehidupan di sekitar saya, terlebih bagi nasib mereka yang tidak seberuntung kehidupan yang saya miliki hingga duapuluh dua tahun terakhir ini.


[ stvt. 22. 10. 10 ]

Asmarangkara

: sajak Arimbi kepada Bimasena


Denganmu semesta seakan bersaksi
Bahwasanya smara dan angkara adalah dekat, tipis


Arimbi:

Maka inilah aku yang terpana
Diatas segenggam angkara yang sebelumnya kupanggul di atas bahuku yang tegap menantang surya
Pada diam dan dinginmulah aku tertunduk
Sementara angkaraku meleleh laksana puncak Himalaya yang baru saja ditampar badai matahari

Bima, Bima
Lebih baik engkau habisi aku dengan Gada Rujapala mu yang mahsyur
Biar lebur angkara dan smara yang asyik berperang sendiri di tengah gamang hati
Biar moksa mengusaikan dahagaku yang lama

Baiklah Bima
Kulihat engkau tengah menghunus Sang Rujapala
Tikam aku bersama dingin lakumu
Aku akan tersenyum
Aku akan berbahagia karena mati bersama smara

Tunggu apalagi Bima!
Tikam aku sekarang biar musnah dilema smarangkara!

...
...
...
...
...

Hei, Bima
Mengapa belum membunuhku?
Mengapa hanya tersenyum seperti itu?
Apakah kau hanya mau berperang namun tak mau membunuh?


Siang menjelma hening di Waranawata.
Bimasena mengarahkan Gada Rujapala-nya ke jantung Arimbi.
Lama, namun tak segera ditancapkannya Sang Rujapala ke dalam dada Arimbi.
Arimbi bosan menunggu, Ia merebut paksa Gada Rujapala untuk ditancapkan ke dadanya sendiri, namun Bimasena menahannya.


Bimasena:

" Engkau datang kemari atas nama angkara
  Sayangnya siang ini engkau mesti kecewa
  Karena senja nanti akan kuantar engkau pulang bersama asmara..."




 [ satyavati. 21.10.10 ]

Ombak

: Sajak Durga kepada Syiwa


Kaupun tentu dapat menyentuh rasa yang menggelenyar pada sesenti jarak diantara lembap kulit-kulit kita yang sedang menahan aksara dari bahasanya sendiri.
Jarak yang menyerupa ruang diantara dua magnet yang semestinya saling tarik menarik.
Yang membuat utara lengket mencumbu selatan.
Yang membuat positif seakan tergila pada negatif.
Yang akan mencipta panas sekaligus gigil yang meruntuhkan.
Namun mengapakah kita hanya bertatapan di seberang pintu kamar yang tak dikunci?
Sementara nurani dan gelora mesra berdiskusi, diramaikan oleh setan dan malaikat yang sedang getol menunaikan tugasnya sendiri-sendiri.

Waktu seperti membeku.
Dan panas dari masing-masing tubuh kita seakan melelehkannya menjadi bulir yang menetes satu-satu.
Tentu kaupun bisa dengar tetesannya yang menggenangi ruang diantara jantung dan hati kita yang lama hampa.
Disana ada getar. Disana ada remang misteri yang membuat engkau berjingkat geli.

Kukecap sisa rasa vodka yang menempel di lidahku. Membayangkan lidahmu. Membayangkan bibirmu yang rasa kopi. Membayangkan keringat di lehermu yang bau bedak bayi.

Engkau yang selalu indah pada heningmu

Laksana mercusuar dari bangunan andesit dingin yang berdiri tegak anggun menantang matahari.Dan aku adalah si muda berdarah samudera bersama liar ombaknya yang ingin menjilati bangunan tubuhmu, juga hatimu.

Aku ingin mencumbumu.
Seperti ombak yang liar menjilati mercusuar di tengah laut biru.
Dan diantara jingga cahaya di dunia 4x6 meter tempat kita duduk bersisian ini, kulihat sorot mata mercusuarmu-pun bercahaya ungu, tak lagi merah seperti malam-malam lalu.
Biru apa gerangan yang telah bereaksi dengan warna merah sorot mercusuarmu?

Sungguh, saat ini aku ingin mencumbumu.
Meruntuhkan bangunan mercusuarmu lebur bersama ganas ombakku.
Lebur hingga ke dasar lautku yang paling dalam.
Kau mungkin tak akan pernah membayangkan bahwa di dalamnya ada gua hangat yang nyaman untuk kau tinggali.
Ada pula pusaran warna-warni pelangi yang tak pernah kau lihat di atas bumi.
Aku ingin kau jelajahi, setelah habis kujilati tegak tubuh mercusuarmu.

Mari sejenak melupakan elegi.
Mari sejenak melepaskan diri, merentang tangan untuk lepas menari-nari.
Menjadi sepasang kuda tak berpelana yang berlarian bebas di tengah savannah.
Menjadi elang yang merdeka merentang sayap hingga ke tepi cakrawala.
Menjadi hujan yang rekat mencumbu tanah halaman depan rumah

Menjadi aku dan engkau di dasar laut tak berpenghuni.

Mari!

aku mati (?)

: Dona


aku mati. entah mati sungguhan ataukah hanya mati rasa. yang jelas ada sesuatu yang kusadari telah mati.

aku mati. ketika Kekasihku Hari Ini sibuk membungakan kata cinta di mulutnya sembari membuka kancing kemejaku, sementara di bawah kakikaki kami merangkak jabang bayi yang merengek lantaran dari pagi belum minum ASI karena ibunya pun... telah mati.

aku mati. menatap mereka yang berdasi berbicara mengenai kenaikan harga beras di televisi, sementara di belakang gedung dimana aku sedang merasa mati kini, ribuan manusia terus menerus digerus darah dan dagingnya untuk mencari sesuap nasi.

aku mati. ketika teringat masa kecilku di dusun kami yang permai sebelum datangnya mimpi akan modernisasi yang telah menyihir pemuda pemudi menjadi pion warnawarni yang terus menerus digerakkan kesana kemari atas perintah televisi.

aku telah mati. sejak menyadari bahwa cintaku sebenarnya juga sudah lama mati. ia telah kutukar dengan sekaleng susu, sekilo beras, seperangkat peralatan sekolah, dan selembar dua lembar uang jajan untuk mereka yang kucintai sejak suami pilihan ibuku pergi dan tak pernah kembali.

aku ingin mati. ketika tangan-tangan Kekasihku Hari Ini mulai menelusup ke balik kemejaku, seakan-akan ingin mengambil sisa hatiku yang sengaja kutinggalkan untuk menemaniku saat nanti aku benar-benar mati.

tiit..tit tit tiiit...
ponselku berbunyi. ada pesan baru menanti.

" ibu, Rani juara kelas, bu. Ibu lekas pulang kerja ya, lihat rapor Rani." begitu isinya.

aku menahan tangis dalam hati. menahan tumpahan gemetar beraroma aneka warna yang berlomba dengan gebu nafas Kekasihku Hari Ini...

Oh...Tuhan, apakah aku memang lebih baik mati?







~*~

nasihat seorang pelacur kepada kekasihnya

: Dona

lesap pandangku pada katakatamu yang menumpah ruahkan puisipuisi, sajaksajak, yang kau simpan saja pada tumpukan terbawah lemari di kamarkerjamu selama duaaratussembilanbelas hari terakhir.
manis wajahmu menjelma lain dan sangat lain entah apa itu namanya, yang jelas terasa sesak, seakan jutaan molotov siap diledakkan dari sana.

oh, bukan aku tak pernah ingin tau perihal apa yang mungkin dirasa oleh seorang pria kepada wanita yang selama duaratussembilanbelas hari terakhir selalu menemaninya mencandai cecamar senja di antara hamparan kelopak bunga, mencabuti ilalang untuk sekedar saling meniupkan gemerlap helai-helainya yang menempeli kelopak mata, menempeli hidung, menempeli pipi, menempeli bibir...yang baru saja dikecup oleh suatu kekuatan bernama tindihan sejuta rasa yang kelamaan disimpan dan berjejalan dengan harihari, mimpimimpi, lukaluka...

jangan kau pikir aku tidak mengerti. aku tidaklah terlalu bodoh maupun terlampau pintar dalam hal merasai. kuakui, bahwa yang namanya hati memang sengaja tak kubagi. mungkin cukup dengan kupinjami. aku pelit? biar! aku hanya ingin hatiku utuh saat kelak tiba saatnya aku diperintahkan untuk benar benar sendiri menghadap Illahi.

sudah pernah kukatakan padamu, jangan engkau lena dalam rasa padaku, karena suatu saat aku pasti pergi. aku hanyalah serba serbi dalam lintas kehidupanmu. aku ini hanya iklan, bukan drama berseri di televisi yang biasa disimak ibu ibu dalam rangka menghabiskan hari.

kau memintaku datang, maka aku datang.
kau menyudahi hari, maka aku pergi.

sudah berkali kali kubilang padamu, bahwa hidupku adalah sesederhana itu.
sedangkan engkau? engkau dihidupkan untuk sebuah kompleksitas warnawarni dari komposisi yang telah di ejawantahkan nenek moyang: sekolah, bekerja, kawin, beristri, beranak, bercucu, menua, mati...

dan aku?
aku ini imaji! adaku bisa kau hidup matikan sesuai keinginanmu. aku ini virtual! meski pinggulku dapat kau gamit, meski ubun-ubunku bisa kau kecup. aku ini abadi! hidupku adalah aku, tak terbeli oleh impian romantik tentang kisah cinta perempuan dan laki-laki.

aku: nyata dalam ketidaknyataan, juga tidak nyata dalam kenyataan.

sekarang kutanya; memang engkau berencana apa terhadap kita?

menceraikan istrimu, membawa serta anakmu, lalu meminangku, memperkenalkanku kepada orangtuamu, dan berkata bahwa engkau memungutku di tepi jalan, lalu kita berdua saling jatuh cinta dan merasa tak dapat lagi terpisah, begitu?

jangan ngawur, sayang!

meski istrimu adalah pilihan orangtuamu, meski semua yang engkau jalani adalah sebuah komposisi dari ejawantah nenek moyangmu, bukan begini caranya engkau berontak.

atau mungkin kau iri pada hidupku yang jauh dari airmata, jauh dari sakit hati, jauh dari ketakutan akan kehilangan... begitukah?

jika memang benar kau iri, maka jadilah saja pelacur seperti aku!
yang punya tombol on dan off pada jiwa dan hatinya.
yang tau dimana memulai dan dimana mengakhiri...

tapi setelahnya juga jangan berharap kita akan kawin, lantas beranak pinak dan tinggal di lereng bukit yang berbunga, lalu engkau bekerja memerah sapi dan aku merawat anak-anakmu dirumah sembari mengolah susu menjadi keju seperti iklan di televisi...

tidak akan sayang.
sudah kubilang kan, aku ini abadi...hidupku adalah Aku, tak terbeli oleh impian romantik tentang kisah cinta perempuan dan laki-laki. harap kau mengerti, karena dari awal juga kita telah sadari.

jadi, lanjutkan saja ruahan sajaksajakmu, puisipuisimu, hingga berakhir detik di hari ini.
jika engkau mau, berikan aku kecupan dan sebuket mawar jingga.
ya, begitu... lalu pulanglah engkau kerumahmu.

ingatlah, anak-anakmu sedang menanti bingkisan yang baru saja kita bungkus bersama sebagai hadiah naik kelas mereka...







[ satyavati. 07.07.10 ]

12:08

Pukul duabelas lewat delapan menit siang

Maria diam saja di sudut ruang makan
tangan kanannya menggenggam sebuah pisau kecil yang tajam namun tak seram
sementara tangan kirinya memegang sepotong hati merah tua yang telah ia siapkan sejak malam lalu untuk kekasihnya yang tak jadi datang

televisi pada ruang yang sama tempat Maria berdiam sedang sibuk menayangkan acara gosip selebritis
rupanya ada yang sedang dirutuk masa atas nama moral karena merekam gambar telanjang.
Maria tertawa cekikikan.
merasa beruntung karena tak dirutuk masa,padahal ia juga sering telanjang.
seperti sekarang, bersama hatinya yang juga telanjang.

kriiiiing...! kriiiiiing...!

telepon berdering
sudah kali ketujuh
Maria tak bergeming
televisi kini sedang menayangkan iklan apartemen hadiah dari kekasihnya yang ditinggali olehnya

" Nyaman, Tentram, dan Bahagia " begitu bunyi jargonnya

Maria semakin tertawa terpingkal-pingkal.

" Nyamaaann... tentraaamm..dan Bahagia...!! hahaha! " teriaknya sambil tertawa terbahak-bahak.

kriiiiiing...! kriiiiiing...!

telepon kembali berdering
sudah kali kedelapan
Maria tetap tak bergeming
televisi sedang menayangkan iklan susu bayi
Maria menangis teringat bayinya yang ia bunuh dengan tangannya sendiri, atas perintah kekasihnya, bulan lalu, tanpa tangis dari dirinya dan juga dari bayinya.
kuburannya mungkin masih basah...
seperti rahim Maria yang juga masih basah dan menyimpan ilusi gerak kecil menendangi dindingnya.

Maria menimang pisau kecil di tangan kanannya.
ia cium aroma dingin dari pisau itu...
sementara tangan kirinya gemetar memegang sepotong hati merah tua,
yang tak mau lagi ia pandang.

digoreskannya nama kekasihnya, berikut nama jabang bayi pemberian kekasihnya.
pada sepotong hati merah tua,
dengan mata terpejam,
merumpunkan jutaan kenangan.

"maaf..."
ucap Maria pelan.

dan... jlaaaap!
ia tancapkan pisau kecil itu pada sepotong hati merah tua di tangan kirinya
tanpa keraguan
tanpa kesedihan

lalu darah jingga mengalir dari dalamnya
mengaliri tubuh telanjang Maria

Maria menghirup aromanya...pahit manisnya tercium jelas dari sana...
Maria tersenyum,
sedetik kemudian terlelap damai untuk pertama kali dalam hidupnya...

damai...

damai...

dan jauh...



-

di luar apartemen Maria
kekasihnya datang membawa sebuket mawar yang juga merah tua
berselipkan kartu permintaan maaf karena tak jadi datang semalam, seperti juga malam malam sebelumnya
karena harus membagi waktu untuk Maria dan juga untuk istrinya

lelaki itu mengirimkan pesan singkat kepada Maria

" sayang, teleponnya kok nggak diangkat-angkat? aku diluar, buka pintunya ya ... "

-



Maria membaca pesan singkat dari kekasihnya
tak beranjak
hanya tersenyum,
dan kembali terlelap...

" enak aja..." batinnya.

;-)

Pada Kedua Kaki Drupadi

awan merangkak menuju Subuh merah
api dan lantun puja Putrakama Yadnya masih meremangi udara

hari ini kematian Arjuna sejatinya tengah dipersiapkan
melalui dupa dupa yang menjulangkan doa
melalui kama dan tantra yang tak henti diujarkan pandhita
melalui darah dan keringat Drupadi yang kelak menjelma sungai yang akan menenggelamkan angkuh jiwa Btarakala

Om swastiastu,
api suci itu merekah!

meretas sepasang kaki yang merah
dan merahnya sungguh marah!
lalu langit mengguntur kejam
seakan tau bahwa yang lahir kali ini adalah perempuan pengubah sejarah
; Drupadi!

Pada kedua kakinya adalah risalah
tentang hidup, nafas, dan jantung hati para Ksatria juga Raja Raja
yang dikisahkan kelak rela menjilatinya
demi dan atas nama Kuasa

Siapa yang memiliki
Siapa yang dimiliki
Siapa yang Berencana
Siapa yang sejatinya menjadi tujuan dari sebuah rencana

Ksatria juga Raja Raja bahkan tak pernah sadar,

: ini adalah permainan yang dibawa pada merah kaki kaki Drupadi

yang kelak akan menendang-hancurkan konstalasi kekuasaan lelaki

dengan sepasang kaki kaki perempuannya yang Merah!










[ satyavati ]